Ridwan
Kamil adalah anak kelahiran Bandung di tanggal 4 Oktober 1971. Terlahir dari keluarga yang sederhana namun
hangat, ia menyelesaikan pendidikan tingginya di jurusan Arsitektur ITB dan
lulus S2 di University of California Berkeley. Setelah lulus, ia melanjutkan
pekerjaan profesional sebagai arsitek di berbagai firma di Amerika Serikat.
Secara profesional telah mengerjakan lebih dari 50 proyek arsitektur dan urban
design di benua amerika, Timur tengah dan Asia. Ia bersama firmanya sudah memenangkan
sayembara dan penghargaan lebih dari 20 kali.
Berbekal
pendidikan Urban Design, ia juga diangkat menjadi penasehat arsitektur kota
Jakarta, penasehat ekonomi kreatif Taiwan dan penasehat pembangunan kota
Surabaya. sehingga kota pahlawan ini mendapat banyak penghargaaan dalam
pembangunan perkotaan. Saat ini diangkat Gubernur Jawa Barat sebagai Ketua
Pelaksana Pengembangan Ekonomi Kreatif Jawa Barat.
Percaya
bahwa kota di masa depan harus dibangun dengan konsep kolaborasi, ia mendirikan
banyak komunitas sosial di masyarakat seperti Bandung Creative City Forum
(BCCF), gerakan Indonesia Berkebun, Bandung Citizen Journal, Konsep One Village
One Playground dll.
Ridwan
Kamil, memiliki visi bahwa Bandung bisa dibangun menjadi kota terbaik di
Indonesia jika inovasi, kreativitas dan kolaborasi bisa menjadi ruh dalam
membangun kota Bandung. Sekelumit profil di buku ini memuat sekilas ide,
gagasan dan mimpi-mimpinya tentang membangun sebuah kota yang manusiawi dan
berkelanjutan.Mari Membangun Kota dengan Gagasan-gagasan Baru.
Mochamad Ridwan
Kamil menuliskan dirinya sebagai seorang pemimpi dan pecinta kota. Arsitek,
urban designer, penulis dan dosen ini adalah pendiri Urbane, sebuah jasa
konsultan perencanaan, arsitektur dan desain terkemuka di Indonesia dan manca
negara. Meski berpusat di Bandung, karya- karya Urbane bertebaran di Singapura,
Bangkok, Bahrain, Beijing, Vietnam dan tentu saja Indonesia. Umumnya proyek ini
berupa pengembangan kawasan perkotaan seluas 10-1000 ha, atau disebut sebagai
mega proyek.
Salah satu proyek
yang dikerjakannya kini adalah Superblock Project untuk Rasuna Epicentrum di
Kuningan Jakarta.Ia menggarap 12 hektar dari total kawasan 50 hektar, termasuk
diantaranya Bakrie Tower, Epicentrum Walk, perkantoran, ritel, dan waterfront. Di
luar itu, ia adalah Ketua Bandung Creative City Forum (BFCC), sebuah komunitas
kreatif yang ingin menjadikan Bandung sebagai kota terindah nomor lima di dunia
dalam lima tahun mendatang.
Kami bertemu di
restoran Social House, Grand Indonesia, Jakarta, yang udaranya begitu dingin.
Ia tampil necis dengan jas dan rambut yang kelihatan setengah basah, meski baru
saja turun dari ojek motor. “Memang agak kontradiktif ya,”katanya menyadari,
“selain menghemat waktu, dengan
ojek saya melihat paradog kota Jakarta. Untuk menuju gedung mewah, saya
melewati kampung kumuh, menyaksikan orang berpanas-panas, higienis rumah yang
tidak diperhatikan, yang seringkali menempel terus di kepala, dan saya
menuliskannya di blog.” Efektivitas ini memang diperlukan bagi Ridwan yang
memutuskan untuk tetap tinggal di Bandung. Ia datang ke Jakarta dua kali dalam
seminggu, dan menargetkan enam pertemuan dalam sehari.
Upaya keras ini
dilakukannya dengan disiplin demi mematahkan tiga mitos yang selama ini
mengganggu dirinya. Mitos itu adalah kalau ingin sukses harus di Jakarta, full
professional dan untuk menjadi besar harus punya kantor besar. “Dari ukuran
bisnis, saya buktikan. Saya tidak harus ke Jakarta. Kedua, saya tidak full
professional karena sebagian patner kerja adalah dosen. Tiga, kantor saya
kecil, hanya 25 orang. Untuk proyek besar, konsep saya outsourching, sehingga
saya fokus di boutique design,” katanya tegas. Resep keberhasilan ini, katanya,
adalah menunjukkan bahwa mereka selalu eksis kreatif dengan mengikuti berbagai
sayembara desain. “Hampir 15 kali juara pertama dari tahun 2004, baik di dalam
negeri maupun di luar,” ucapnya.
Memang perlu waktu
sepanjang lima belas tahun untuk mendapatkan rasa percaya dirinya. Sebelumnya,
ia mengaku sangat pemalu. Dilahirkan sebagai anak kedua dari lima bersaudara,
dan tidak memiliki kemiripan nama dengan keempat saudaranya yang bermarga
Zaman, ia acap merasa tak diperhatikan oleh orang tuanya, dan terutama ayahnya.
Sebagai konsekuensi psikologis anak-anak seusianya, ia sering meluapkan amarah
bawah sadarnya dengan berantem atau melakukan kebandelan khas anak-anak.
Untunglah ia memiliki seorang ibu, dosen jurusan farmasi, yang bisa meredam
segala gejolak emosinya. Hobinya?
Menghayal. “Setiap kali ayah keliling dari berbagai negeri dan memamerkan
kota-kota melalui slide show, pikiran saya melayang, membayangkan tokoh-tokoh
komik hidup di sana,” kenangnya. Ayah Ridwan adalah seorang dosen jurusan
hukum. Setiap kali pulang dari luar negeri, ayahnya selalu memutar slide
kota-kota yang disinggahi. Kota-kota yang indah berbeda bayangan dengan apa
yang dilihat di negerinya, membuat kecintaan akan kota yang menyamankan
masyarakatnya mulai muncul. Sementara itu, kecintaan pada bacaan komik telah
melambungkan daya imajinasinya bak Superman melanglang buana ke berbagai kota.
Terasa ada semacam keinginan bawah sadar untuk bisa menyaingi perjalanan
ayahnya. Kelak kesukaan ini akan memengaruhi desain gaya Ridwan yang cukup
imajinatif dan tidak konservatif.
“Dalam perjalanan
hidup, rupanya pilihan hidup saya banyak ditentukan oleh kebetulan,”ujar Ridwan
tentang jurusan arsitektur yang kini melambungkan namanya. Pilihan pertamanya
adalah jurusan Teknik Kimia. Ia pun lantas menetapkan hati untuk menjadi yang
terbaik atas apapun kehendak yang harus diterima. Untuk itu, ia harus mencari
tambahan uang saku dengan membuat ilustrasi cat air ke proyek dosen atau
membuat maket. Hal ini dilakukan karena orang tuanya memberikan jatah yang sama
dengan seluruh saudaranya. Padahal jurusan arsitektur membutuhkan biaya yang lebih
banyak. “Sebagai orang yang terlahir dari sebuah keluarga yang memberikan baju
kembar untuk kami bersaudara hanya pada hari lebaran, saya harus memutar otak.”
Untunglah dalam
dirinya sudah terdapat intuisi bisnis yang sudah diasahnya sejak duduk di bangku
SD. Ia pernah jualan es mambo bikinannya sendiri di rumahnya yang terletak di
sebuah lapangan sepakbola. Di sini, ia belajar bagaimana situasi sebagai
peluang, sesuatu yang kelak membantunya dalam menyusun bisnisnya. ”Kadang, saya suka menghayalkan apa yang saya
bisa eksploitasi dari suasana itu dalam arti positif,” ungkapnya. Baginya,
kewirausahaan merupakan hal penting dalam berbisnis. “Banyaknya kegagalan yang
dialami oleh seorang arsitek itu dikarenakan mereka tidak bisa menjadi seorang
enterpreneur. Enterpreneur itu butuh keberanian.”
Keberanian itu pula
yang membuat ia memutuskan untuk bertualang seusai menamatkan kuliah S1-nya di
Institut Teknologi Bandung dan bekerja di belantara Amerika untuk pertama
kalinya. Keberanian itu pula yang akhirnya memicunya berpikir kala empat bulan
kemudian ia dipecat karena krisis moneter yang menyebabkan klien asal Indonesia
tidak membayar pekerjaannya. Padahal kebanggaan saat melambaikan tangan di
bandara pada orang-orang yang dicintainya masih melekat di pikirannya. Terus
terang ia malu pulang. “Saya katakan pada perusahaan saya, bahwa saya akan
survive sendiri. Tolong jangan bilang bahwa saya harus pulang…,”harapnya pada
mantan bosnya. “Inilah titik balik dalam kehidupan saya.”
“Saya merasa bahwa
saya berubah karena dicemplungin dalam sosial budaya di Amerika dimana saya
harus survive sendiri. Itu yang membuat saya harus menguatkan diri dan karakter
saya karena saya mengembara,” katanya. Ia lalu meraih jenjang pendidikan lebih
tinggi dengan mengambil S2 di University of California, Berkeley, Amerika
Serikat melalui sebuah beasiswa. Ia ingat betul bagaimana demi bertahan hidup,
ia berhemat dengan cara makan sehari sekali di resto murahan seharga 99 seni
dan bekerja paruh waktu di dinas tata kota Berkeley. “Nilai-nilai hidup saya
banyak lahir dari tekanan, dan nilai itu yang saya pegang dan jadikan cara
bernegosiasi dalam kehidupan.” Dari Amerika, ia pindah ke Hongkong untuk
bekerja.
Setelah dirasa
cukup pengalaman, ia kembali ke Indonesia dan mendirikan bendera bisnisnya
sendiri (2004). Rencana baru dibangun. “Dalam empat tahun pertama, target saya
membangun reputasi dari sisi komersial. Menasehati klien yang banyak uangnya
untuk membuat kota yang lebih baik. Empat tahun berikutnya, ini artinya
sekarang, saya fokus untuk membangun masyarakat miskin kota,” ungkap Ridwan
yang begitu khawatir dengan masa depan anak-anak yang kebanyakan main di
shopping mall dan time zone. Karena itulah, ia kini serius menggarap proyek CSR
perusahaan besar dengan program one village one playground. Mengapa dua rencana itu tidak dilakukan
secara bersamaan, ia punya alasan. “Saya tak bisa melakukan kekumuhan dan kota
secara bersamaan. Ini hanya soal pemilahan aja,”katanya.
Bila kini ia begitu
memperhatikan masyarakat miskin, ini bukan soal romantisisme atau kegenitan
belaka. “Saya pernah merasakan menjadi masyarakat miskin kota,”ia mengutarakan
masa kelamnya di New York. Ia diberhentikan dari tempat kerjanya, tepat pada
saat sang istri akan melahirkan anak pertamanya. Hal itu terjadi karena
kelalaian perusahaan tidak memperpanjang visa kerjanya, dan ia terpaksa disebut
sebagai menjadi pendatang ilegal, dan tak punya pekerjaan.
Demi mendapatkan
pelayanan kesehatan, ia harus mengaku miskin kepada pemerintah setempat. Untuk
itu, ia terpaksa memalsukan cek perusahaan agar dituliskan gaji sebesar 30%
dari gaji sesungguhnya agar mendapat kriteria miskin karena syarat masuk ke
rumah sakit miskin ia harus bekerja dengan gaji di bawah standar. “Akhirnya
saya menemani istri saya melahirkan di rumah sakit khusus masyarakat miskin. Di
ruangan itu, selusin ibu-ibu menjerit. Hampir
belasan jam saya di
sana. Stress sekali. Memori itu masih kuat hingga kini.”
Pengalaman inilah
yang terus menyadarkannya akan geliat roda kehidupan. “Mungkin kini saya tengah
berada di atas, tapi alhamdulilah saya tidak akan pernah melupakan berbagai
peristiwa itu. Karena banyak beruntung, maka saya menyisihkan uang kantor untuk
berzakat, selain berpajak.” Ia juga mewakafkan tanah bagi penduduk miskin di
sekitarnya. Kebaikan ini, katanya, sering pula dimanfaatkan oleh orang yang
tidak bertanggung jawab yang membuatnya gundah. “Makanya filosofi hidup saya
adalah to live is to give. Nasehat dari ibu saya terbukti, semakin banyak
memberi, rejeki saya semakin banyak. Saya nggak tahu secara misterius ada
korelasinya. Moga-moga saya bukan termasuk orang yang pelit.”
“Kalau orang bilang
orang mati meninggalkan nama. Bagi saya, keinginan tertinggi saya adalah kalau
saya mati saya meninggalkan inspirasi, ide, cerita yang orang lain akan lanjutkan.”
Hidup dalam berupa-rupa
tantangan rupanya mengalir juga pada hasratnya pada wanita. “Istri saya waktu
itu yang ngecengin hampir 35 orang. Tanpa sengaja, saya baca buku hariannya,
dan menemukan posisi saya di urutan 36-37,”ujar Ridwan yang menyukai wanita
yang memiliki wawasan luas, pandai komunikasi, bisa berbahasa Sunda dan seksi
seperti Aura Kasih. Karena mendapatkan tipe itu di diri Atalia Praratya, dan
tak mau kehilangan, selain tentu saja keinginan untuk menaklukkan tantangan, ia
memutuskan menikah saat usianya baru 25 tahun dan belum mapan. Ia mengaku
diuntungkan oleh anggapan masyarakat bahwa jurusan arsitektur memiliki prospek
yang baik di mata mertuanya. “Lalu untuk calon istri saya, saya hanya
memberinya mimpi-mimpi. Kalau kamu sama aku, aku pasti akan ajak kamu keliling
dunia, dan dia mau, “ia lalu tertawa. “Saya tidak membual. Saya selalu punya
cara untuk meraih mimpi dalam segala hal.” Bapak dua anak ini kini sudah meraih
semua yang diinginkannya.
Lalu ia tiba-tiba
terdiam. “Saya jadi ingat ayah. Bila dulu saya rebellious terhadap ayah, saya
banyak berontak dalam hidup, setelah ayah meninggal, kangennya luar biasa.
Banyak nilai dalam hidup ayah yang saya rasakan sekarang. Saya kini lebih paham
ajaran ayah saya ketika saya dibenturkan dengan realita hidup sesungguhnya,” di
akhir pertemuan itu ia mengenang kembali sosok sang ayah yang meninggal saat ia
tengah mengerjakan tugas akhir kuliahnya. “Salah satu yang mendorong saya jadi
arsitek adalah ayah, karena dia suka renovasi rumah. Mungkin dia bermimpi ingin
jadi arsitek,”lanjut Ridwan yang merasa kini wajahnya menjadi sangat mirip
dengan ayahnya.
“Seandainya ayah
masih hidup, mungkin ia akan bahagia melihat saya sekarang,” ucapnya. Matanya
berkaca- kaca. Diam. Lama. Lalu
tangannya menuliskan status di facebook-nya dengan segera: Ridwan Kamil
thinking his childhood life, I miss my late dad (Hadi pratama).